Faktor Penyebab Anxietas
Faktor-Faktor Kognitif
Fokus dari
perspektif kognitif adalah pada peran dari cara pikir yang terdistorsi dan disfungsional yang mungkin
memegang peran pada pengembangan gangguan-gangguan kecemasan. Marilah kita
perhatikan beberapa gaya berpikir yang oleh para peneliti dikaitkan dengan
gangguan-gangguan kecemasan.
-
Prediksi
Berlebihan terhadap Rasa Takut
Orang dengan
gangguan-gangguan kecemasan sering kali memprediksi secara berlebihan tentang
seberapa besar ketakutan atau kecemasan yang akan mereka alami dalam
situasi-situasi pembangkit-kecemasan (Rachman, 1994). Orang dengan fobia ular, misalnya, mungkin
berharap akan gemetar ketika berhadapan dengan seekor ular. Orang dengan fobia
dental (berhubungan dengan ke dokter gigi) cenderung untuk mempunyai
harapan
- - Keyakinan-keyakinan
yang self-defeating atau irasional
-
Sensitivitas berlebihan
terhadap ancaman
-
Sensitivitas kecemasan
-
Salah atribusi dari
sinyal-sinyal tubuh
-
Self-efficacy
yang rendah
- Faktor-Faktor Biologis dalam Gangguan Kecemasan
Bukti-bukti
makin bertambah mengenai pentingnya faktor-faktor biologis pada
gangguan-gangguan kecemasan – faktor-faktor seperti hereditas dan
ketidakseimbangan biokimia di otak.
-
Faktor-Faktor Genetis
Faktor-faktor genetis tampak mempunyai peran penting
dalam perkembangan gangguan-gangguan kecemasan, termasuk gangguan panik,
gangguan kecemasan menyeluruh, gangguan obsesif-kompulsif, dan
gangguan-gangguan fobia (APA, 2000; Gorman dkk., 2000; Hetterna, Neale &
Kendler, 2001; Kendler dkk., 2001). Peneliti juga telah mengaitkan suatu gen
dengan neurotisisme (neuroticism), suatu trait
kepribadian yang mungkin mendasari kemudahan untuk berkembangnya
gangguan-gangguan kecemasan (Begley, 1998).
-
Neurotransmitter
Sejumlah neurotransmitter berpengaruh pada reaksi
kecemasan, termasuk gamma-aminobutyric acid (GABA). GABA adalah neurotransmitter
yang inhibitori, yang berarti meredakan aktivitas berlebih dari sistem saraf
dan membantu untuk meredam respons-respons stress (USDHHS, 1999a). Bila aksi
GABA tidak adekuat, neuron-neuron dapat berfungsi berlebihan, kemungkinan
menyebabkan kejang-kejang. Dalam kasus yang kurang dramatis, aksi GABA yang
kurang adekuat dapat meningkatkan keadaan kecemasan.
Aspek-Aspek Biokimia pada Gangguan Panik
Komponen fisik
yang kuat pada gangguan panik telah membawa beberapa teoritikus untuk
berspekulasi bahwa serangan-serangan panik mempunyai dasar biologis,
kemungkinan melibatkan sistem alarm yang disfungsional di otak (Glass, 2000).
Psikiater Donald Klein (1994) mempunyai pendapat bahwa kerusakan dalam sistem
alarm respiratori otak menyebabkan individu-individu yang mudah panik cenderung
untuk menunjukkan reaksi tubuh yang berlebihan terhadap sinyal-sinyal
kekurangan udara (suffocation) yang
barangkali terjadi karena ada sedikit perubahan pada taraf karbon dioksida
dalam darah. Menurut model Klien, sinyal kekurangan udara yang berasal dari
hiperventilasi atau penyebab lainnya memicu suatu alarm respiratori, yang lalu
memproduksi aliran sensasi yang melibatkan serangan panik klasik : nafas
pendek, sensasi tercekik, pusing tujuh keliling, seperti mau pingsan, peingkatan
denyut jantung atau palpitasi (jantung berdebar-debar), gemetaran, sensasi
panas dingin, dan perasaan mual.
·
Aspek-Aspek Biologis dari Gangguan Obsesif-Kompulsif
Model biologi lain yan akhir-akhir ini mendapat
perhatian mengatakan bahwa gangguan obsesif-kompulsif dapat melibatkan
keterangsangan yang meninggi dari apa yang disebut sebagai sirkuit cemas (worry circuit), suatu jaringan neural di otak yang
ikut serta dalam member sinyal bahaya. Pada OCD, otak dapat secara konstan
mengirim pesan bahwa ada sesuatu yang salah dan memerlukan perhatian segera,
hal ini membawa kepada pikiran-pikiran kecemasan obsesional dan tingkah laku
kompulsif repetitif. Sirkuit cemas
ini menginkorporasi bagian-bagian dari sistem
limbik, suatu set dari struktur yang terletak di bawah korteks serebral
yang memegang peranan kunci dalam formasi memori dan pemrosesan respons
emosional. Satu struktur dalam sistem limbik, amygdale yang berbentuk
almond, bekerja seperti semacam “computer emosional” dalam mengevaluasi stimuli
dalam hal apakah stimuli tersebut mempresentasi suatu ancaman/bahaya atau tidak
(avidson, 2000; Ohman & Mineka, 2001).
Ø Faktor
Sosial dan Lingkungan
-
Pemaparan terhadap
peristiwa yang mengancam atau traumatis
-
Mengamati respon takut
pada orang lain
-
Kurangnya dukungan
sosial
Ø Faktor
Behavioral
-
Pemasangan stimuli,
aversif, dan stimuli yang sebelumnya netral (classical conditioning).
-
Kelegaan dari kecemasan
karena melakukan ritual kompulsif atau menghindari stimuli fobik (operant conditioning)
-
Kurangnya kesempatan
untuk pemunahan (extintion) karena
penghindaran terhadap objek atau situasi yang ditakuti.
1.7
Penanganan
Ø Pendekatan-Pendekatan
Psikodinamika
Dari
perspektif psikodinamika, kecemasan merefleksikan energi yang dilekatkan kepada
konflik-konflik tak sadar dan usaha ego untuk membiarkannya terepresi. Terapis
psikodinamika yang lebih modern juga menyadarkan klien mengenai sumber-sumber
konflik yang berasal dari dalam. Terapis semacam ini lebih pendek waktu
terapinya dan lebih direktif dibandingkan dengan psikoanalis tradisional.
Meskipun terapis-terapis psikodinamika barangkali terbukti membantu dalam
menangani gangguan-gangguan kecemasan, bukti empiris ekstensif yang membuktikan
efektivitas mereka tidaklah mencukupi (USDHHS, 1999a).
Ø Pendekatan
–Pendekata Humanistik
Para
teoritikus humanistic percaya bahwa banyak dari
kecemasan kita yang berasal dari represi sosial diri kita yang sesungguhnya.
Kecemasan terjadi bila ketidakselarasan antara inner self seseorang yang sesungguhnya dan kedok sosialnya mendekat
ke taraf kesadaran. Orang merasakan
bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi, tetapi tidak mampu untuk mengatakan apa
itu karena bagian diri yang tidak diakui tidak secara langsung diekspresikan
dalam kesadaran. Dengan demikian terapis-terapis humanistic bertujuan membantu
orang untuk memahami dan mengekspresikan bakat-bakat serta perasaan-perasaan
mereka yang sesungguhnya.
Ø Pendekatan-Pendekatan
Biologis
Berbagai
variasi obat-obatan dipakai untuk mengobati gangguan-gangguan kecemasan.
Diantara obat-obat yang dipakai adalah obat penenang ringan seperti dari
golongan benzodiazepine Valium (nama
generic, diazepam) dan Xanax (alprazolam). Meskipun benzodiazepine
mempuyai efek menenangkan, tetapi dapat mengakibatkan dependesi fisik (adiksi)
(USDHHS, 1999a). Orang-orang yang menjadi tergantung kepadanya dapat mengalami
serangkaian sintom putus zat bila mereka berhenti menggunakannya dengan
tiba-tiba, misalnya mengalami lagi simtom-simtom kecemasan, insomnia, dan
kegelisahan.
Ø Pendekatan-Pendekatan
Belajar
Cukup
banyak hasil riset yang mendemonstrasikan efektivitas dari
pendekatan-pendekatan belajar alam menangani serangkaian gangguan-gangguan
kecemasan (USDHHS, 1999a). Yang menjadi inti dari pendekatan-pendekatan ini
adalah usaha untuk membantu imdividu-individu menjadi lebih efektif dalam
menghadapi objek-objek atau situasi-situasi yang menimbulkan ketakutan dan
kecemasan.
2.
Gangguan
Somatoform
Gangguan
somatoform berasal dari kata ‘soma’ dalam bahasa Yunani yang berarti ‘tumbuh’.
Gangguan somatoform ditandai dengan keluhan tentang masalah atau gejala
fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh
penyebab kerusakan fisik. Terdapat dua
jenis gangguan somatoform, yaitu hipokondriasis (hypochondriasis) dan gangguan konversi (conversion).
2.1
Gangguan Konversi
Gangguan konversi adalah
sebuah tipe gangguan somatoform yang ditandai oleh kehilangan fungsi fisik
namun tidak ada penyebab organis yang jelas. Simtom fisik itu biasanya timbul
tiba-tiba dalam situasi yang penuh tekanan.
2.2
Gangguan Hipokondriasis
Gangguan
hipokondriasis adalah ketakutan seseorang akan simtom fisik yang dialaminya
merupakian akibat dari suatu penyakit serius yang mendasarinya. Biasanya
seorang hipokondriasis pergi dari satu dokter ke dokter lain mencari dokter
yang akhirnya akan mendiagnosis penyakit yang mereka yakini menjadi penyebab
dari gejala-gejala yang mereka alami. Orang dengan hipokondriasis tidak secara
sadar berpura-pura akan simtom fisiknya. Mereka seringkali melibatkan sistem
pencernaan atau campuran antara rasa sakit dan nyeri.
2.3
Faktor
Penyebab Somatoform
Ø Faktor
biologis: Kemungkinan pengaruh genetis (gangguan somatisasi).
Ø Faktor
lingkungan sosial: sosialisasi terhadap wanita pada peran yang lebih
bergantung, seperti “peran sakit”, yang dapat diekspresikan dalam bentuk
gangguan somatoform
Ø Faktor
perilaku:
-
Terbebas dari tanggung
jawab yang biasa atau lari atau menghindar dari situasi yang tidak nyaman atau
menyebabkan kecemasan (keuntungan sekunder).
-
Adanya reinforcement (perhatian) untuk
menampilkan “peran sakit”.
-
Perilaku konpulsif yang
diasosiasikan dengan hipokondriasis atau gangguan disformik tubuh dapat secara
sebagian membebaskan kecemasan yang diasosiasikan dengan keterpakuan pada
kekhawatiran akan kesehatan atau kerusakan fisik yang dipersepsikan.
Ø Faktor
emosi dan kognitif :
-
Salah interpretasi dari
perubahan tubuh atau simtom fisik sebagai tanda dari adanya penyakit serius
(hipokondriasis)
-
Dalam teori Freudian
tradisional, energy psikis yang terpotong dari impuls-impuls yang tidak dapat
diterima dikonversikan kedalam simtom fisik (gangguan konversi)
-
Menyalahkan kinerja
buruk dari kesehatan yang menurun mungkin merupakan suatu strategi
self-handicapping (hipokondriasis)
2.4 Penanganan
Penanganan
biasanya melibatkan terapi psikodinamika atau kognitif-behavioral.
Ø Penanganan
biomedis : penggunaan anti depresan yang terbatas dalam menangani
hipokondriasis
Ø Terapi
kognitif-behavioral : dapat berfokus pada menghilangkan sumber-sumber reinforcement sekunder (keuntungan
sekunder), memperbaiki perkembangan keterampilan coping untuk mengatasi stress,
dan memperbaiki keyakinan yang berlebihan atau terdistorsi mengenai kesehatan
atau penampilan seseorang.
Ø Terapi
psikodinamika: terapi psikodinamika atau yang berorientasi terhadap pemahaman
dapat ditujukan untuk mengidentifikasi dan mengenali konflik-konflik tidak
sadar yang mendasarinya.
3
Gangguan Disosiatif
Gangguan
disosiatif adalah sebuah kelompok gangguan yang di tandai oleh suatu kekacauan
atau disosiasi dari fungsi identitas, ingatan, atau kesadaran. Gangguan disosiatif terbagi menjadi tiga, yaitu: amnesia disosiatif, fugue disosiatif dan
multiple disorder.
3.1
Amnesia
Amnesia
diambil dari bahasa Yunani a- yang
berarti tanpa dan mnasthai yang berarti untuk diingat.
Amnesia
disosiatif merupakan suatu gangguan dimana seseorang mengalami kehilangan
ingatan tanpa sebab organis yang dapat teridentifikasi. Orang yang menderita
penyakit initidak mampu menyebutkan kembali informasi pribadi yang penting,
biasanya melibatkan pengalaman yang traumatis atau penuh tekanan, dalam bentuk
yang tidak dapat dianggap sebagai lupa biasa. Ingatan yang hilang pada
penderita amnesia disosiatif dapat kembali, meski gangguan ini bisa berlangsung
selama beberapa hari, minggu, atau bahkan beberapa tahun.
3.2
Fugue
Fugue berasal dari bahasa
Latin fugere, yang berarti melarikan
diri. Fugue disosiatif merupakan
suatu gangguan disosiatif di mana seseorang tiba-tiba pergi dari lingkup
kehidupannya, melakukan perjalanan ke lokasi baru, mengasumsikan identitas
baru, dan mengalami amnesia untuk hal-hal pribadi. Gangguan
fugue ini seringkali muncul dalam masa perang, atau terbangkitkan karena adanya
bencana maupun peristiwa lain yang sangat menekan. Hal ini untuk melindungi
seseorang dari ingatan traumatis atau sumber pengalaman maupun konflik lain
yang menyakitkan secara emosi.
3.3
Multiple Disorder
Multiple disorder
termasuk gangguan disosiatif dimana seseorang memiliki dua atau lebih
kepribadian yang berbeda atau kepribadian pengganti (alter). Mereka bisa sadar
atau tidak sadar akan keberadaan satu dan yang lainnya.
3.4
Faktor
Penyebab Disosiatif
Ø Faktor
biologis: Penyebabnya tidak diketahui
Ø Faktor
Lingkungan sosial:
· Penyiksaan
fisik atau seksual di masa kecil
(pada gangguan identitas
disosiatif)
· Pengalaman
traumatis lain, seperti trauma peperangan (pada amnesia disosiatif dan fugue
disosiatif)
Ø Faktor
behavioral : kemungkinan adanya
reinforcement (perhatian) untuk menampilkan peran sosial dari kepribadian ganda.
Ø Faktor
emosional dan kognitif : terbebas dari kecemasan dengan memisahkan diri
(mendisosiasi) secara psikologis dari emosi atau ingatan yang mengganggu.
3.5
Penanganan
Gangguan
identitas disosiatif tetap meupakan tantangan bagi sejumlah penanganan, amnesia
disosiatif dan fugue disosiatif cenderung terselesaikan dengan sendirinya.
Relative jarangnya gangguan ini muncul telah membatasi usaha untuk membuat
penelitian terkontrol terhadap terapi lain.
·
Penanganan biomedis:
terapi obat (tipe antidepresan-SSRI) dapat membantumenangani gangguan
depersonalisasi.
·
Terapi Psikodinamika :
Untuk gangguan identitas disosiatif, terapi psikoanalitik dapat digunakan untuk
mendapatkan integrasi kembali dari kepribadian.
4.
Gangguan Mood
Mood adalah
kondisi perasaan yang terus ada yang mewarnai kehidupan psikologis kita.
Ganggungan mood adalah suatu tipe
gangguan yang ditandai dengan gangguan pada mood. Gangguan mood terbagi menjadi dua,
yaitu gangguan-gangguan mayor dan gangguan bipolar.
4.1
Gangguan Mayor
Gangguan
mayor adalah suatu gangguan mood yang parah yang ditandai oleh episode-episode
depresi mayor tanpa adanya riwayat episode manik (manic) atau hipomanik (hypomanic).
Dalam episode depresi mayor, orang tersebut mengalami salah satu diantara mood depresi (merasa sedih, putus asa,
atau terpuruk) atau kehilangan minat atau rasa senang dalam semua atau berbagai
aktivitas untuk periode waktu paling sedikit 2 minggu.
4.2
Gangguan Bipolar
Gangguan
bipolar adalah gangguan mood (suasana perasaan) yang dikarakteristikan dengan
episode depresi dan manik atau hipomanik. Dahulu gangguan ini dikenal sebagai
“manic-depressive illness.” Pada awalnya antara skizofrenia dengan gangguan
bipolar saling bertumpang tindih dalam penegakan diagnosisnya namun kemudian diberi
batasan yang jelas oleh Emil Kraeplin, seorang psikiater Austria.
Depresi adalah suatu
kondisi suasana perasaan yang menetap sedih dalam jangka waktu panjang.
Sedangkan pada kondisi manik atau hipomanik terdapat suatu kondisi suasana
perasaan yang berkebalikan dengan depresi di mana terdapat suatu suasana
perasaan yang gembira secara berlebih-lebihan, meluas, atau iritable (mudah
menjadi marah). Kondisi mood yang meningkat ini akan menyebabkan perubahan pada
diri pasien meliputi peningkatan energi, gangguan tidur, gangguan makan, rasa
percaya diri yang berlebihan, waham kebesaran, kontrol impuls yang buruk,
hingga perilaku agresi dan tanpa perhitungan. Hipomanik adalah kondisi mood
yang menyerupai manik namun dalam derajat lebih ringan. Episode manik harus
berlangsung sekurangnya 1 minggu, sedangkan episode hipomanik berlangsung
sekurangnya 4 hari.
4.3
Faktor
Penyebab Gangguan Mood
Ø Faktor
biologis:
-
Predisposisi genetis
-
Fungsi
neurotransmitter yang terganggu
-
Abnormalitas pada
bagian otak yang mengatur kondisi mood
-
Keterlibatan system
endoktrin yang memungkinkan dalam kondisi mood
Ø Faktor
sosial-lingkungan: peristiwa hidup yang penuh tekanan, seperti kehilangan
seseorang yang dicintai atau lama menganggur
Ø Faktor
behavioral:
-
Kurangnya reinforcement
-
Interaksi yang negative
dengan orang lain, menghasilkan penolakan
Ø Faktor
emosional dan kognitif:
-
Dalam teori
psikoanalisis klasik, kemarahan diarahkan kedalam
-
Kesulitan emosional
dalam melakukan coping atas kehilangan orang yang dikasihi
-
Kurangnya makan atau tujuan
dalam kehidupan
-
Cara berfikir yang bias
atau terdistorsi secara negative, atau suatu gaya atribusional yang cenderung
depresi
4.4
Penanganan
Penanganan dapat mencakup satua tau lebih
pendekatan tarapeutik
Ø Penanganan
biomedis:
-
Obat-obatan anti
depresan (tricyclic, MAO inhibitor, SSRIs) untuk mengontrol simtom-simtom
depresi dengan mempengaruhi ketersediaan neurotransmitter dalam otak
-
Litium atau obat-obatan
anti konvulsan untuk menstabilisasi mood pada pasien bipolar
-
Terapi elektrokonvulsif
(ECT) dalam kasus-kasus depresi berat
-
Fototerapi untuk
gangguan afektif musiman
Ø Terapi
kognitif- behavioral: untuk membantu klien memperbaiki cara berpikir yang
terdistorsi, mengembangkan respons coping yang lebih efektif, dan menambah
tingkat reinforcement positif
Ø Terapi
Interpersonal: untuk menyelesaikan masalah interpersonal dan reaksi duka yang
terus menerus.
5.
Skizofrenia
Skizofrenia
merupakan kelompok gangguan psikosis atau psikotik yang ditandai terutama oleh
distorsi-distorsi mengenai realitas, juga seringa ada perilaku menarik diri
dari interaksi sosial, serta disorganisasi dan fragmentasi dalam hal persepsi,
pikiran dan kognisi ( Carson dan Bucher, 1992).
5.1 Ciri ciri klinis skizofrenia
Gambaran klinis orang
yang mengidap skizofrenia didominasi oleh seclusiveness (perasaan kurang
hangat), minatnya makin lama makin melemah terhadap dunia lingkungannya, dan
melamun yang berlebihan serta blunting of affect (tidak adanya responsivitas
emosional). Dan pada akhirnya respon yang tidak selaras atau ringan saja yang
tampil, misalnya tidak begitu peduli terhadap property sosial ( barang-barang
umum milik masyarakat).
Ada dua tipe simtom
skizofrenia, yaitu: negatif simtom dan positif simtom. Yang dimaksud dengan
negative simtom yaitu kurangnya atau tidak adanya perilaku yang biasanya
ditampilkan oleh orang-orang normal pada umumnya.
negative simtom skizofrenia
meliputi affective flattening, alogia,
dan avoilition.
·
Affective flattening
adalah berbagai bentuk reduksi (penurunan atau pengurangan), atau bahkan sama
sekali hilangnya respons-respons afektif terhadap lingkungan, terganggu dalama
menampilkan reaksi-reaksi emosinya.
·
Alogia atau kemiskinan
bicara adalah pengurangan atau penurunan (reduksi) bicara. Kurang atau
kerusakan berbicara orang tersebut mungkin menggambarkan kekurangan atau
kerusakan dalam berpikir, meskipun hal itu mungkin untuk sebagian orang
disebabkan oleh kurangnya motivasi berbicara.
·
Avolition adalah
ketidakmampuan untuk bertahan pada saat-sat biasa, atas aktivitas yang mengarah
pada pencapaian tujuan, termasuk dalam bekerja, sekolah dan di rumah.
Sedangkan, yang
dimaksud dengan positif simtom merupakan simtom-simtom yang berupa “tambahan”
terhadap pola-pola perilaku orang-orang pada umumnya, seperti lonjakan
emosional yang kuat, agitasi motorik, interpretasi kejadian-kejadian yang salah
atau menyimpang dan delusional. Dan apabila ia melihat sesuatu kejadian nyata,
ia tidak mengintrepetasikan kejadian tersebut sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya.
Positif simtom
skizofrenia meliputi delusi, halusinasi, disorganisasi pikiran, dan pembicaraan
serta disorganisasi perilaku atau perilaku katatonik.
·
Delusi merupakan gagasan
(idea) atau pendapat bahwa seorang individu meyakini suatu kebenaran, yang
kemungkinan besar bahkan hamper pasti, jelas, tidak mungkin. Seperti keyakinan
akan menang lotre. Terdapat enam tipe delusi, yaitu delusi yang bersifat
penyiksaan (persecutory), referensi (refenrent), kebesaran (grandiose), dan
insersi pikiran (thought insertion).
·
Halusinasi adalah
gejala dimana seseorang melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Hoeksema
membagi halusinasi kepada beberapa
bagian, diantaranya halusinasi pendengaran, halusinasi perabaan,
halusinasi dan somatic.
·
Disorganisasi pikiran
dan pembicaraan yaitu kecenderungan untuk melompat dari suatu topic lain yang
Nampak jelas sekali tidak berhubungan, melalui peralihan yang sedikit sekali
masuk akal, sering juga disebut sebagai kehilangan asoaiasi atau keluar dari
rel berpikir.
·
Disorganisasi perilaku
atau tingkahlaku katatonik ditandai dengan seringnya pengidap skizofrenia
membuat orang lain menjadi takut kepada mereka, bisa dengan cara menunjukan
agitasi yang tidak dapat diprediksikan dan jelas sekali tanpa pemicu. Seperti
berteriak secara tiba-tiba, menyumpah-nyumpah, atau berjalan maju mundur dengan
cepat dijalanan.
5.2
Jenis-Jenis Skizofernia
Ada lima tipe
skizofrenia,yaitu: tipe
undifferentiated, tipe paranoid, tipe katatonik, tipe disorganisasi, dan tipe
residual.
Ø Tipe
Undifferentiated
Tipe
undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang menampilkan perubahan pola
simtom-simtom yang cepat menyangkut semua indicator skizofrenia. Misalnya,
indikasi yang sangat ruwet, kebingungan, emosi yang tidak dapat dipegang karena
berubah-berubah, adanya delusi, referensi yang berubah-ubah atau salah, autism
seperti mimpi, depresi, dan sewaktu-waktu juga ada fase yang menunjukan
ketakutan.
Ø Tipe
Paranoid
Simtom-simtom
tipe gangguan skizofrenia ini ditandai oleh adanya pikiran pikiran yang absurd
(tidak ada pegangannya), tidak logis, dan delusi yang berganti-ganti. Sering
juga diikuti halusinasi, dengan akibat kelemahan penilaian kritisnya dan aneh
tidak menentu, tidak dapat diduga, dan kadang-kadang berperilaku berbahaya.
Ø Tipe
Katatonik
Tipe
katatonik ditandai oleh adanya withdrawl (penarikan diri) dari lingkungan yang
bersifat ekstrim, sehingga dia tidak kenal lagi dengan lingkungan dunianya.
Yang paling terkenal yaitu adalah gerakan diam untuk jangka panjang.
Ø Tipe
Disorganisasi
Skizofrenia
tipe disorganisasi ini biasanya muncul pada usia muda dan lebiha wal jika
dibandingkan dengan tipe yang lainnya. Pengidap skizofrenia tipe ini ditandai
dengan hati-hati yang berlebihan mengenai hal-hal yang sepele dan terpreokupasi
oleh masalah-masalah religious dan filosofis, penderita terus menerus
memikirkan keburukan, disaat yang lain sedang bersenang-senang dengan permainan
dan aktivitas sosial yang normal sedangkan penderita secara gradual menjadi
lebih seklusif dan dikuasai fantsi-fantasi, tersenyum tolol dan tidak wajar,
tertawa keras pada situasi yang tidak lucu, dan lain sebagaingnya.
Ø Tipe
Residual
Tipe
ini merupakan kategori bagi mereka yang dianggap telah lepas dari skizofrenia
etapi masih memperlihatkan beberapa tanda gangguannya itu. Paling sedikit
mereka memiliki satu episode akut dari positif simtom.
5.3
Faktor
Penyebab Skizofrenia
1.
faktor-faktor biologis
Dalam faktor
biologis ini terdapat empat faktor penting, ialah faktor keturunan, faktor
biokimiawi, faktor faal syaraf,dan faktor anatomi syaraf.
Faktor-faktor
diatas dipengaruhi oleh kontribusi gen terhadap skizofrenia, studi anak kembar,
struktur otak abnormal, pembesaran ventrikel, korteks frontan dan area kunci
lainnya, faktor anatomis neuron, komplikasi kelahiran,kejangkitan virus selama
prenatal, dan neurotransmitter.
2. Faktor
Psikososial
Faktor
psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin lama semakin kuat,
adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan orang tua-anak yang
patogenik, serta interaksi yang patogenik, serta interaksi yang patogenik dalam
keluarga.
3.
Teori psikodinamika
Menurut para
ahli psikodinamika terdahulu skizofrenia adalah hasil dari begitu berlimpahnya
pengalaman negative pada masaawal anak-anak, antara seorang anak dengan pemberi
kasih sayang yang utam (biasanya ibu). Adapun yang mempengaruhi faktor-faktor
tersebut adalah pola-pola komunikasi, tampilan emosi, perubahan sosial dan
kelahiran urban, stress dan kekambuhan, perspektif keprilakuan dan kognitif,
dan perspektif lintas budaya.
4.
Faktor kesalahan
belajar
Yang dimaksud
kesalahan belajar ini adalah tidak tepat mempelajari yang benar atau dengan
tepat mempelajari yang tidak benar. Dalam hal ini penderita mempelajari dengan
baik perilaku orang-orang skizofrenia atau mempelajari perilaku yang baik
dengan cara yang tidak baik.
5.
Faktor Peranan Sosial
Yaitu tidak
adanya pegangan mengenai siapa orang disekitarnya yang dapat atau patut
dijadikan panutan. Ia mengikuti kebiasaan dua orang yang bertentangan sehingga
menimbulkan stress kehidupan yang obsesif dan dekompensasi.
6.
Gangguan Kepribadian
Gangguan
kepribadian (personality disorder)
adalah gangguan-gangguan dalam perilaku yang memberikan dampak atau dinilai
negatif oleh masyarakat. Pemahaman ini bersumber pada masalah perkembangan
yaitu bahwa manusia berkembang dari sejak lahir dalam suatu proses dimana
terjadi interaksi antara dirinya dengan lingkungannya sendiri. Personality disorder pada umumnya
ditandai oleh masalah-masalah dimana individu secara tipikal (khas) mengalami
paling sedikit kesukaran dalam melaksanakan kehidupan dengan orang lain
sebagaimana yang ia kehendaki.
Di masa lalu,
gangguan-gangguan semacam ini dianggap sebagai pusat dari kharakteristik
kepribadian yang menyangkut temperamen atau sifat-sifat hereditas (keturunan)
atau dipengaruhi oleh ciri-ciri konstitusional. Definisi personality disorder dalam DSM-III berbunyi :
“Sifat-sifat
dalam kepribadian yang merupakan pola-pola yang berkelanjutan dalam hal
mempersepsi, berelasi, atau berfikir mengenai lingkungan dan dirinya sendiri
sehingga ditampilkan dalam rentang yang luas mengenai konteks-konteks pribadi
dan sosial yang penting. “
Personality disorder
merupakan pola yang telah lama menetap yang menyangkut perilaku, pikiran, dan
perasaan yang sangat maladatif bagi individu maupun orang sekitarnya. Personality disorder sudah ada sejak
masa remaja atau dewasa awal hingga masuk masa dewasa. Personality disorder merupakan suatu keadaan yang sangat kontroversial dalam dunia psikologi
klinis modern karena menyangkut masalah-masalah norma dan nilai yang berkembang
atau berubah-ubah.
Jenis-jenis
personality disorder yang utama
meliputi:
1. Paranoid Personality
Disorder
Paranoid personality
disorder atau gangguan kepribadian paranoid ditandai
dengan perasaan curiga yang pervasif. Ia meninterpretasikan perilaku orang lain
sebagai hal yang mengancam atau merendahkan. Mereka juga cenderung menyalahkan
orang lain atas segala hal yang menimpanya.
2. Schizoid Personality
Disorder
Schizoid
personality disorder atau gangguan
kepribadian skizoid adalah gangguan dimana seseorang sulit dalam membina
hubungan dengan orang lain. Ciri utama dari gangguan ini adalah isolasi sosial.
Seringkali digambarkan sebagai penyendiri atau eksentrik. Pola kepribadian
skizoid umumnya dapat dikenali pada masa awal dewasa.
3. Schizotypal Personality
Disorder
Schizotypal
personality disorder atau gangguan kepribadian
skizotipal umumnya menjadi jelas pada masa awal dewasa. Penderita gangguan ini
mengalami masalah serius dengan orang lain dan menunjukkan sikap yang eksentrik
dan ganjil. Ia mudah berilusi dan mungikutsertakan pikiran-pikiran gaib,
percaya bahwa ia memiliki kontak dengan dunia supernatural. Gangguan ini
merupakan bentuk ringan dari skizofrenia.
4. Borderline Personality
Disorder
Borderline
Personality Disorder atau gangguan
personality ambang. Pengidap gangguan ini menunjukan ketidaksetabilan mood, self-image dan hubungan dengan
orang lain secara ekstrem, serta kurangnya kontrol atas impuls. Orang dengan
gangguan ambang cenderung tidak yakin akan identitas perilaku
mereka,nilai,tujuan,karir, bahkan orientasi seksual mereka.
5. Narcissistic Personality
Disorder
Orang
dengan nacissistic personality disorder atau gangguan kepribadian narsistik memiliki rasa bangga atau keyakinan berlebihan
terhadap diri sendiri. Dan dalam hubungan pribadinya dia menjadi pusat
segalanya dan egois. Orang tersebut
kehilangan empati terhadap orang lain dan sering menggunakan orang lain
untuk mencapai tujuan pribadinya. Mereka sering menghayalkan kesuksesan masa
lalu dan masa depannya.
6. Histrionic Personality
Disorder
Orang dengan Histrionic personality disorder atau
gangguan keperibadian histrionik
memiliki emosi yang berlebihan dan kebutuhan yang besar untuk menjadi
pusat perhatian. Histrio berasal dari
bahasa Latin yang berarti aktor. Orang dengan gangguan keperibadian ini
cenderung dramatis dan emosional, namun emosi mereka tampak dangkal,
dibesar-besarkan, dan mudah berubah. Contohnya: mereka akan sangat kecewa
ketika kita membatalkan rencana dengan mereka, mereka akan sangat marah saat
seseorang tidak menyadari gaya rambut mereka, dan lain sebagainya.
7. Avoidant Personality
Disorder
Orang dengan Avoidant personality Disorder atau
gangguan keperibadian menghindar sangat ketakutan akan penolakan dan kritik
sehingga mereka pada umumnya tidak ingin memasuki hubungan tanpa adanya
kepastian akan penerimaan terhadap dirinya. Sebagai akibatnya mereka hanya
memiliki sedikit teman dekat. Mereka juga cenderung menghindari pekerjaan
kelompok atau aktivitas rekreasi,. lebih
suka makan sendiri di meja sendiri, menghindari piknik atau pesta, kecuali bila
mereka yakin akan diterima. Orang pengidap gangguan keperibadian menghindar ini
hampir sama dengan orang pengidap gangguan skizoid, mereka sama-sama menarik
diri secara sosial, namun pada pengidap gangguan keperibadian menghindar ini
mereka masih memiliki minat dan perasaan akan kehangatan terhadap orang lain.
Tapi, ketakutan akan penolaka menghalangi mereka untuk memenuhi kebutuhan
mereka akan afeksi dan penerimaan.
8. Dependent Personality
Disorder
Orang dengan Dependent personality disorder atau
gangguan keperibadian dependen memiliki kebutuhan yang berlebihan untuk diasuh
oleh orang lain. Hal ini menyebabkan mereka menjadi sangat patuh dan melekat
dalam hubungan mereka serta sangat takut akan perpisahan. Mereka merasa sangat
sulit melakukan segala sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain. Mereka selalu
mencari saran dalam membuat keputusan yang paling kecil sekalipun. Anak-anak
atau remaja dengan masalah ini akan mencari orang tua mereka untuk memilihkan
pakaian, makanan, sekolah atau kampus, bahkan untuk memilih teman-teman mereka
sekali pun.
9. Obsessive-Compulsive
Personality Disorder
Ciri dari Obsesesive-Compulsive Personality Disorder atau
gangguan keperibadian obsesif-kompulsif meliputi derajat keteraturan yang
berlebihan, kesempurnaan, kekakuan, kesulitan melakukan coping dengan ketidakpastian, kesulitan mengekspresikan perasaan,
dan mendetail dalam kebiasaan kerja. Gangguan ini dua kali lebih umum ditemui
pada laki-laki dari pada perempuan.
10. Antisocial Personality
Disorder
Orang dengan gangguan
ini secara persisten melakukan pelanggaran terhadap hak-hak orang lain dan
sering melanggar hukum. Mereka mengabaikan norma dan konvensi sosial, impulsif,
serta gagal membina komitmen interpersonal dan pekerjaan. Akan tetapi, mereka
sering menunjukkan karisma penampilan luar mereka, dan paling tidak mereka
memiliki intelegensi rata-rata. Ciri yang paling menonjol adalah tingkat
kecemasan yang rendah ketika berhadapan dengan situasi yang mengancam dan
kurangnya rasa bersalah atau penyesalan atas kesalahan yang mereka lakukan.
6.1
Penanganan
Terlepas dari sulitnya
bekerja secara tarapeutik bersama individu dalam gangguan kepribadian, hasil
yang menjanjikan muncul berdasar pendekatan psikodinamika dan
kognitif-behavioral.
Ø Terapi
obat: obat antidepresan atau antikecemasan dapat digunakan untuk mengendalikan
simtom namun tidak dapat mengubah pola perilaku yang mendasarinya.
Ø Terapi
kognitif-behavioral: untuk mendorong tingkah laku yang lebih adaptif, untuk
mengembangkan keterampilan sosial yang lebih efektif dan untuk menggantikan
cara berpikir yang salah dengan alternative rasional.
Ø Terapi
psikodinamika: untuk membantu seseorang memahami akar masa kanak-kanak dari
masalah mereka dan belajar cara yang lebih efektif dalam berhubungan dengan
orang lain.
Daftar
Pustaka
Sternberg, Robert J.
2001. Psychology In Search Of The Human
Mind. Orlando: Harcout College Publisher
Sdorow, Lester M. 1995.
Psychology. Madison, Wisconsing:
Brown&Benchmark Publisher
Jeffrey S. Nevid, Spencer A. Rathus,
Beverly Greene. 2005. Psikologi Abnormal.
Jakarta: Penerbit Erlangga